Rasa Aman Dalam Organisasi Kemahasiswaan
OPINI | 18 December 2011 | 18:04 Dibaca: 186 Komentar: 0 1 bermanfaat
Dalam sebuah seminar yang Saya ikuti tentang
pengembangan keterampilan mahasiswa yang diadakan pada hari sabtu 17
Desember 2011. Salah satu pembicara adalah pejabat tinggi rektorat salah
satu perguruan tinggi seni. Pembicara yang dimaksud menjadikan tema
organisasi kemahasiswaan sebagai pokok pembahasan yang dibedahnya.
Pembicaraan mengenai organisasi mahasiswa dan
unit kegiatan mahasiswa sore itu menjadi berkepanjangan dan melebar ke
sentimen antar organisasi ketika sang pembicara seolah secara tidak
langsung mengadu argumen antara satu pihak organisasi dengan organisasi
lain, hal itu terjadi sebab sang pembicara menjabarkan pembahasan
mengenai organisasi mahasiswanya melalui sebuah esai (fiktif) tentang
sebuah perguruan tinggi seni (fiktif) yang didalamnya terjadi
pertentangan pendapat antara Badan Eksekutif Mahasiswa (fiktif) dengan
sebuah Unit Kegiatan mahasiswa (fiktif).
Meski esai yang dijabarkan pembicara itu
fiktif namun sesungguhnya itu adalah representasi kondisi sebenarnya
dari perguruan tinggi seni yang nyata. Hal yang mana menimbulkan gejolak
perdebatan di seminar sore itu. Dengan perdebatan yang makin melebar,
Saya memutuskan meninggalkan seminar, bukan karena Saya adalah
simpatisan Badan Eksekutif Mahasiswa atau Unit Kegiatan Mahasiswa yang
diperdebatkan sore itu. Namun lebih karena sejak awal sang pembicara
menyatakan tema Organisasi Mahasiswa, Saya sudah menjadi seorang yang
apatis dalam tema itu.
Dalam menjabarkan tema organisasi
kemahasiswaan sore itu, sang Pembicara menggunakan pendekatan
“Aktualisasi Diri” yang pernah dijabarkan Abraham Maslow. Dikatakan
bahwa aktualisasi diri adalah sebuah proses dimana manusia ingin diakui,
dan konsep ke-aku-an inilah yang menyebabkan organisasi mahasiswa
eksis, sebab mahasiswa ingin diakui sebagai calon intelek. Maka
organisasi kemahasiswaan adalah legalisasi aktualisasi diri tersebut di
kampus dimana mahasiswa dapat menjabarkan proses ke-aku-an nya secara
legal.
Hal inilah yang membuat Saya jengah, konsep
organisasi mahasiswa sebagai ajang aktualisasi diri mahasiswa mungkin
dapat dibenarkan, namun bila Sang pembicara melandaskan pembahasan
organisasi kemahasiswaannya pada teori “Aktualisasi Diri” Maslow,
seharusnya dapat dilihat bahwa Aktualisasi diri tersebut adalah bagian
dari Hirarki Kebutuhan sebagaimana yang digambarkan Maslow dalam
“Piramida Kebutuhan Maslow.”
Pada dasarnya dalam hirarki kebutuhan Maslow
tersebut terdapat 5 poin yang semuanya berkaitan, dan bertingkat. Poin
paling atas tidak akan dapat dicapai andai poin paling bawah belum
tercapai. Aktualisasi diri berada di puncak teratas piramida, sedang
urutan dasar adalah kebutuhan pokok seperti makan dll. Urutan kedua
adalah Rasa aman diri. Jadi kesimpulan dari piramida itu, manusia tidak
akan mampu mengaktualisasi diri (berpikir kreatif) seperti puncak kelima
jika Dia belum mampu memenuhi kebutuhan dibawahnya. Orang kelaparan
tidak akan berpikir berkarya dan unjuk gigi.
Dengan konsep keterkaitan kebutuhan dalam
hirarki Maslow tadilah Saya menyimpulkan pembahasan sang pembicara
tentang organisasi kemahasiswan sebagai ajang Aktualisasi diri mahasiswa
sepertinya hanya membuang waktu. Sebab sesungguhnya Organisasi
kemahasiswaan (Aktualisasi diri) baru dapat dicapai jika kebutuhan
dibawahnya sudah tercapai, di Indonesia (juga di salah satu perguruan
tinggi seni Indonesia) ini, Barangkali semua mahasiswanya sudah bisa
makan, artinya kebutuhan nomor satu sudah tercapai. Namun ketika naik ke
tingkat 2, apakah rasa aman sudah dirasakan mahasiswa? Jika jawabannya
ya, maka bolehlah mahasiswa naik ke tingkat kebutuhan berikutnya hingga
akhirnya mampu mengaktualisasi diri dalam organisasi mahasiswa di
tingkat tertinggi. Namun faktanya rasa aman belum dirasakan mahasiswa
dalam hal berorganisasi, berbagai ketakutan masih membayangi mahasiswa
yang hendak kritis sampaikan pendapat. Diantaranya takut peraturan
kampus, takut pidana, takut di Drop-out (DO) kampus, dll.
Padahal jelas dalam organisasi kemahasiswaan
harus ada pendapat-pendapat murni dari mahasiswa, pendapat dan ide yang
tidak terpengaruh pihak lain, pendapat yang menjadi Student learning yang
kelak berguna menjadikan mahasiswa pribadi yang mandiri dan mampu
berpikir tanpa campur tangan pihak lain. Dengan berbagai ancaman kepada
mahasiswa terhadap mahasiswa, tidak tercapai yang namanya rasa aman.
Tanpa rasa aman pada diri mahasiswa, tentu mustahil dapat
mengaktualisasi diri dalam organisasi kemahasiswaan.
Tidak ada rasa aman itu terbukti dengan
diberangusnya berbagai kegiatan kemahasiswaan di salah satu perguruan
tinggi negeri di Yogyakarta ketika mahasiswa protes dan menyampaikan
pendapatnya akan beberapa kebijakan kampus yang tidak memihak rakyat,
tercatat pula beberapa aktivis mahasiswa dipidanakan karena aktivitasnya
memprotes kebijakan kampus yang dianggap kurang adil. Bahkan ancaman
mahasiswa yang protes pada kampus langsung di DO juga ada di beberapa
perguruan tinggi. Kemudian salah satu bukti belum adanya rasa aman bagi
mahasiswa dalam menyampaikan pendapat itu adalah dengan tulisan ini,
dimana Saya sebagai penulis belum berani secara frontal menyebut pihak
atau nama tertentu dan harus disamarkan.
Itulah kenapa menurut Saya pembahasan
mengenai organisasi kemahasiswaan sebagai ajang aktualisasi diri
mahasiswa, dari sang pembicara di seminar sore itu hanya membuang waktu
saja. Sebab sebelum sampai pada tataran aktualisasi diri, ada baiknya
Kita membahas terlebih dahulu rasa aman harus ditimbulkan dalam proses
organisasi mahasiswa. Agar mahasiswa berani ungkapkan pendapatnya tanpa
takut di-DO atau dipidanakan. Agar organisasi kemahasiswaan benar-benar
menjadi sebuah ajang Student learning, bukan sekedar organisasi
yang harus ada sebagai syarat. Menuju aktualisasi diri di tingkat 5
hirarki kebutuhan Maslow dapat dilakukan jika kebutuhan rasa aman
dibawahnya dapat tercapai, pertanyaannya adalah. maukah pihak perguruan
tinggi memberikan rasa aman itu pada mahasiswa? Sebab terkadang
birokrasi enggan memberi rasa aman tersebut, dan selalu menutup diri
agar sistem Mereka tak terjamah mahasiswa.